Book of HJ

•—•
4 min readMar 20, 2022

--

< amalgamations of him >

“Kalau datang ke sini cuma mau ngajak ribut, mending pulang.”

Itu adalah ucapan selamat datang yang dia berikan ketika kakiku baru menginjak sejengkal kamarnya. Sangat amat tidak ramah, tentu saja.

It was Sunday afternoon, and I was bored to death. Lebih kepada suntuk dan butuh hiburan. Tentu mengganggunya menjadi opsi paling menyenangkan, namun tidak dalam kondisi sekarang. Aku yakin seperempat isi kepalanya sudah terbakar dilihat dari kondisi kamar yang penuh kertas dan alat gambar berserakan.

I come here just want to make sure you’re still alive.” Kuberanikan diri untuk masuk, memastikan kakiku hanya menginjak lantai telanjang untuk mencapai tempat tidur. Sensasinya persis seperti melangkah di ladang ranjau — tentu hanya sebuah perumpamaan. “See? You’re dying. At least you have me here.

Dia mendengus lalu menunjuk buku yang kubawa bersama. “Is that the book of poems, lagi?” Aku mengangguk. “Fine. Read it. You read. I’ll draw.”

Make me look good,” kataku.

Read,” ujarnya sebelum memandangku sekilas. “Just read.”

Oke, anak ini memang sedang tidak ingin diganggu.

Do you want me to read it out loud?”

As long as it doesn’t hurt.”

“Ga akan.” Setelah menemukan posisi ternyaman, aku membuka buku tipis bersampul abu tebal bertekstur. “Amalgamations of him.” Aku melirik ke arahnya sesaat, lalu membersihkan tenggorokan. Kuharap dia yang begitu tersesat dalam pekerjaanya itu masih mampu menemukan jalan untuk tetap mendengarkan.

The world associates him to so many gentle, beautiful things — ” Kali ini, yang terdengar di ruangan yang hanya berisikan kami berdua adalah persilatan antara pensil dan kertas, gumaman pendingin ruangan, musik sendu yang diputar nyaris seperti bisikan, serta suaraku yang entah sejak kapan terdengar seperti wanita pujangga yang menjajakan puisi di tempat ramai.

“ — arts and paintings, contemporary dance, songs, stars and city lights, spring and flowers, winter, first snow, and Christmas. Love.

Entah sejak kapan juga, yang bisa kudengar di kepala hanya suaraku sendiri. Lantang seperti mengikrar janji di hadapan dunia. Mendayu seperti nyanyian burung hantu. Aku tidak pernah mendengar suaraku semanis ini sebelumnya. Suara yang sering kali terdengar putus-putus, atau terlalu keras, atau seperti decitan tikus, atau yang selalu terselip keraguan di ujungnya.

Aku melanjutkan. “There are some words she never learned to spell. Love is one of those.”

With him, she spells love differently. It’s the wildflowers she sees in the warm, sunny morning every day she passes the street. A vivid evocation of stillness shaped in such a way with brush and hand, framed on canvas or paper. As awestruck as she is by the gestures that follow the beats she never tires of watching over and over. It’s how she spends the entire night quietly, studying stars in both the open sky and those that are seen from the height of earth. It defines a lull, for every first snow either Christmas she never celebrates.

The love she learned to spell from him is the nature of generosity, an act of courage, and the matter of stay.”

Butuh beberapa saat untuk menggumpulkan kewarasan sampai aku sadar bahwa kami berdua sama-sama larut dalam diri masing-masing. Baik dia dan aku — kami berdua menciptakan lubang yang cukup untuk diselami oleh diri sendiri.

“Rasanya familiar.” Dia masih belum melepas diri dari pensil warna merahnya. Wajah yang masih terpaku pada kertas berisi coretan. Sorot matanya, yang kali ini entah berkelana kemana. Seperti jauh sekali. Mungkin tersesat. “Who is the writer?”

Kali ini mata itu menemukan tujuan: mataku. “Who made it?”

Butuh waktu nyaris selamanya untuk keluar dari sana.

Your silly bestie, me.” Aku menjauh dari tepian tempat tidur, beranjak dan mendekat pada sang penanya.

Dia yang seenaknya menjadikan diri sebagai satu dari banyak alasan aku merangkai kata — yang pun tidak pernah kuprotes. Tidak ada kesepakatan di antara kami yang sama-sama tanpa sadar menjadikan satu sama lain kausa dari banyak lukisan dan tulisan.

You know what …” Tidak tahu pada hitungan ke berapa, kakiku sudah berpijak dengan jarak sedemikian rupa di sebelahnya.

I began to muse on how much of you is made of them, those exquisite things.” Aku melihat ke dalam matanya, bertanya-tanya. “How much of you is art and paint and how much is dance and how much is music and how much is star and how much is flower. I muse about how much of you is belong to spring, what part is summer, the way fall raises and winter lives inside you for 22 years.

22 years,” sambungku, “is a collection of stories about how much you have love for life I am on the edge of my seat to read.

Aku menyerahkan buku itu kepadanya. “Selamat ulang tahun.”

--

--