— dan dia noleh lagi.

•—•
2 min readJul 17, 2023

"Kenapa jalannya di belakang aku terusss?"

Ini sudah yang ketiga kali dia menoleh ke belakang. Sabiru yang tinggi menjulang itu berpijak di anak tangga lebih rendah dari tempatku berdiri—sekaligus aku dibuat ketahuan memotret diam-diam.

Kupikir sudah menjadi kebiasaan untuk membiarkan Sabiru berdiri di depanku. Sabiru maju paling depan buat ambil barang yang letaknya gak ngira-ngira. Sabiru juga dengan senang hati beralih tugas pegang setang karena tahu aku gak bisa bawa motor. Dan dia gak pernah marah meski kami selalu berujung ketemu gang buntu tiap aku bilang belok di persimpangan. Ngomel, sedikit.

Sabiru dan segala-gala hal besar yang gak bikin aku merasa kecil ketika sama dia. Sabiru dan semua yang baik yang bikin aku berpaling dari jahat-jahatnya dunia. Sabiru yang tiap makan bisa bikin aku bengong liatin dia nguyah sambil senyam-senyum seperempat gila. Sabiru juga cerita tentang landaknya yang galak dan suka pup sembarangan.

Sabiru yang ini dan Sabiru yang itu yang bikin aku berharap semua manusia di muka bumi ini punya satu Sabiru untuk mereka masing-masing biar gak coba-coba rebut Sabiru-ku.

Karena kalau itu Sabiru, mungkin aku bisa berubah wujud jadi manusia paling egois sesatu kecamatan.

Biar gak nyasar,” alibiku begitu. Nyatanya berjalan dua tiga langkah di belakang Sabiru membuatku berhenti memikirkan hal-hal rumit. Aku hanya perlu mengikuti langkah kakinya — yang dua kali lipat dari milikku—lalu tiba-tiba kami sampai ke tempat tujuan. Beriringan.

--

--